Metode Singapore Maths kurang berfokus pada hafalan/cara mengerjakan soal dan lebih berfokus pada cara membuat murid mengerti hubungan antara bilangan-bilangan.
Oleh gurunya, murid-murid diperkenalkan pada contoh konkrit seperti blok dan dadu dalam penjelasan konsep matematika. Singapore Maths berfokus pada pembuatan model dan penyelesaian masalah (problem solving) dengan gambar/piktorial sebelum berpindah pada yang lebih abstrak.
Biasanya di negara-negara lain, pada tingkat rendah atau angka-angka kecil, guru-guru memang menggunakan contoh-contoh konkrit untuk menjelaskan misalnya konsep penjumlahan/pengurangan, namun segera berpindah ke bentuk abstrak pada tingkat yang lebih tinggi/rumit atau angka-angka yang lebih besar, sehingga piktorial/modeling terabaikan, padahal piktorial/model adalah cara yang sangat bagus untuk menjembatani antara bentuk konkrit dan abstrak. Ini sebenarnya cara terbaik seorang anak belajar. Sayangnya jaman dulu kita tidak diajari dengan cara begitu. Bahkan banyak sekolah di Amerika Serikat telah mengimplementasi metode Singapore Maths ini ke dalam kurikulum mereka.
Dalam Singapore Maths, konsep-konsep penting dibangun lebih dulu, jadi tidak terlalu membuang waktu untuk mengajarkan kembali konsep-konsep kunci setiap memulai pelajaran baru.
Dalam program ini, siswa-siswa mengerti konsep-konsep matematika dan membuat hubungan antara bilangan, belajar bagaimana melakukan mental calculation dan sebagai hasilnya bisa mengurangi pengulangan konsep. Cara lama biasanya mengajarkan topik per topik secara terpisah, dan soal-soalnya tidak ada saling keterkaitan atau pengulangan sampai menjelang Ujian Semester.
Fakta bahwa program ini merepresentasi topik matematika dari konkrit ke piktorial ke abstrak yang membuat banyak guru menyambut antusias program ini di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Para siswa diberi visual tools yang baik, seperti number bonds dan bar models yang secara visual menjelaskan hubungan antara bilangan-bilangan. Murid-murid terus-menerus ditantang untuk betul-betul berpikir saat mereka mengerjakan soal, dan karena tidak boleh/bisa langsung "masuk rumus", maka akan dapat menstimulasi otak mereka.
Metode ini pertama diciptakan di Singapura di awal tahun 1980-an ketika negara tersebut memutuskan untuk berhenti mengimpor buku teks dari negara lain dan membentuk kurikulum mereka sendiri yang berfokus pada problem solving.
Di tahun 1992, diciptakan edisi kedua yang berfokus lebih kuat lagi pada problem solving menggunakan model drawing sebagai metode problem solving. Ketika Singapura mulai memimpin dunia dalam pendidikan matematika dasar di tahun 1995, negara-negara lain mulai melirik dan mengimpor buku-buku matematikanya.
Metode ini memungkin murid-murid belajar dengan kecepatan mereka masing-masing. Ini memungkinkan murid-murid membangun fondasi kuat dalam skill matematika dasar untuk bekal problem yang lebih kompleks nantinya. Pada kelas 4, 5, dan 6 kecepatannya bisa diakselerasi karena kerumitan masalah ditingkatkan juga.
Guru-guru dan para kepala sekolah yang telah berpindah ke metode Singapore Maths ini menemukan bahwa cara belajar yang hands-on membuat murid mengerti konsepnya lebih cepat, dan meningkatkan pengertian dan kemampuan memecahkan masalah siswa.
Untuk SD tingkat rendah, daripada membuat murid-murid melototi flashcards atau soal-soal di buku saja, seorang guru bisa menggunakan blok-blok untuk mengilustrasikan konsep penjumlahan dan pengurangan dasar. Kemudian sang guru bisa implementasikan ke word problems, yang akan gampang diselesaikan siswa-siswa.
Untuk SD tingkat lebih tinggi, soal-soal yang biasanya harus dikerjakan dengan aljabar yang melibatkan abstraksi yang rumit (dan oleh karenanya aljabar hanya mulai diperkenalkan pada tingkat SMP), dengan model-drawing bisa diselesaikan dan dimengerti oleh anak SD kelas 4 sampai 6.
Untuk SD tingkat lebih tinggi, soal-soal yang biasanya harus dikerjakan dengan aljabar yang melibatkan abstraksi yang rumit (dan oleh karenanya aljabar hanya mulai diperkenalkan pada tingkat SMP), dengan model-drawing bisa diselesaikan dan dimengerti oleh anak SD kelas 4 sampai 6.
No comments:
Post a Comment